BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.
Islam telah
mensyariatkan bahwa orang tua memiliki porsi tertinggi untuk diberikan
pelayanan oleh seorang anak. Oleh karena itu, membuat kedua orang tua menangis
adalah salah satu larangan yang harus dijauhi.
Defenisi durhaka
adalah menyakiti (mengganggu) kedua orangtua dengan jenis gangguan apa saja,
baik tingkatan gangguan tersebut rendah atau tinggi, mereka melarang gangguan
itu atau tidak, atau sang anak menyelisihi perintah mereka berdua atau larangan
mereka berdua dengan syarat (perintah atau larangan mereka) bukanlah
kemaksiatan.
Durhaka kepada
orang tua memiliki dampak dan akibat yang luar bisa dalam kehidupan di dunia,
saat sakratul maut, di alam Barzakh, dan di akhirat.
Ibu bapak
merupakan sebab lahirnya kita di dunia ini. Oleh karena itu, perhatikanlah
bahwa Allah telah menunjukkan besarnya hak orang tua dengan menggandengkan
antara perintah untuk berbuat baik kepada keduanya dengan perintah untuk
bertauhid kepada-Nya, sebagaimana dalam potongan surat Luqman, ayat 14 berikut
ini, yang artinya. “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu.”
Dengan demikian, melakukan kedurhakaan kepada orang tua merupakan perbuatan
keji dan termasuk dosa besar yang diancam dengan siksa neraka.
B.
Rumusan
masalah
1.
Apakah
yang dimaksud durhaka kepada orang tua?
2.
Apakah
termasuk menyakiti kedua orang tua orang lain menyakiti orang tua sendiri?
3.
Apa
bentuk-bentuk durhaka terhadap orang tua?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Durhaka
terhadap Orang Tua
Orang yang
durhaka kepada orang tuanya berarti telah melakukan dan ia akan mendapat
hukuman berat di hari kiamat nanti. Bahkan, ketika hidup di dunia pun, ia akan
mendapat azab-Nya.
Allah SWT
mewajibkan setiap anak untuk berbakti kepada ibu bapaknya. Bagaimanapun
keberadaan seseorang di muka bumi tidak terlepas dari peran ibu dan bapaknya.
Ibunya yang telah mengandung dan bapaknya yang telah bersusah payah mencari
rezeji, tanpa mengenal lelah untuk membiayai anaknya. Allah SWT. berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَي وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْلِيْ وَلِوَالِدَيْكَ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ.
“Dan
kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada orang dua orang ibu
bapaknya; ibunya telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
baopakmu, hanya kepada-Kulah kamu semuanya kembali.” (Q.S. Luqman: 14)
Setiap anak tidak boleh menyakiti kedua ibu bapaknya, baik dengan
perkataan maupun perbuatan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan,
dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa seorang anak tidak boleh mengatakan “ah”[1],
sebagaimana firman-Nya.
وَقَضَي رُبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوْا اِلَّا اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْ هُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا.وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرًا.
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah kepada selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya, jika
salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan “ah” (“his”, ”cis”, “uf”
dan semacamnya yang sifatnya menghina). Dan janganlah kamu membentak mereka,
(akan tetapi) ucapkanlah kepada mereka ucapan yang mulia. Dan rendahkanlah
dirimu terhadap mereka dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, Wahai Tuhanku,
kasihanilah mereka sebagimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. (Q.S. Al-Isra: 23-34)
Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menerangkan keharusan
berbuat baik terhadap orang tua. Menurut ibn Abbas, dalam Al-Qur’an ada tiga
hal yang selalu dikaitkan penyebutannya dengan tiga hal lainnya, sehingga tidak
dapat dipisahkan antara yang satu dan lainnya, yaitu:[2]
a.
أطيعوا
الله وأطيع الرسول. (النساء: 59)
b.
وأقيموا
الصلاة وآتوا الزكاة. (الساء: 77)
c.
أن
اشكُرْلي ولوالديك. (لقمان: 14)
Dari Abu Hurairah r.a mengatakan:
Rasulullah SAW. bersabda:
أربعةُ نَفَرٍ حَقٌّ
علي اللهِ أن لا يُدخِلَهم الجَنَّةَ, ولا يُذيقَهم نَعيمَها: مُدمِنُ خَمْرٍ, وآكِلُ
الرِّبَا, وآكلُ مالِ اليتيمِ ظُلْمًا, وَالْعاقُّ لِوالدَيْهِ, اِلَّا أن يَتُوْبُوْا.
“Empat golongan manusia
yang benar-benar Allah tidak akan memasukkan mereka ke dalam surge dan tidak
akan dapat merasakan kenikmatannya, yaitu:
1.
Orang
yang membiasakan diri minum-minuman keras (khamar).
2.
Orang
yang makan harta riba.
3.
Orang
yang makan harta anak yatim dengan cara yang kejam.
4.
Orang
yang durhaka kepada orang tuanya, kecuali kalau mereka itu bertobat.”
(Riwayat Hakim –dengan sanad dha’if/lemah).
Hal itu menandakan bahwa peran dan
kedudukan orang tua sangat tinggi di hadapan Allah SWT. sehingga Rasulullah
SAW. bersabda:
رضي الله في رضي الوالدين وسخط الله في سخط الوالدين. (رواه الترمذي
والحاكم بشرط المسلم).
“Keridaan Allah itu terletak pada
keridaan kedua ibu-bapaknya dan kemurkaan Allah terlatak pada kemurkaan kedua
ibu-bapak pula.”
Allah SWT. sangat murka terhadap orang-orang yang menyakiti orang
tuanya sendiri dan mengharamkannya untuk masuk surga meskipun ia sangat rajin
beribadah. Sebagaimana kisah seorang sahabat yang mengalami kesulitan untuk
meninggal dunia karena ibunya murka kepadanya dan setelah ibunya memaafkan dosa
anaknya –setelah Rasulullah SAW. berkata kepadanya bahwa anaknya akan dibakar
–sahabat tersebut meninggal dengan mudah.
Lebih jauh dalam hadis dinyatakan bahwa terhadap yang menyakiti
orang tuanya sendiri, oleh Allah tidak akan mengakhirkan untuk menyiksanya.
Rasulullah SAW.
bersabda:
كُلُّ الذُّنُوبِ يُؤَخِّرُ اللهُ مِنْهَا
ما شاء الي يوم القيامة اِلَّا عُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ لِيَجْعَلَ له العذابُ واِنَّ
اللهَ لَيَزِيْدُ في عُمْرِ الْعَبْدِ اِذَا كان بَارًّا لِوَالِدَيْهِ لِيَزِيْدَهُ
بِرًّا وَخيرًا وَمِنْ بِرِّهِما أن يُنْفِقَ عليهِما اِذا احْتَاجَا. (رواه ابن
ماجه)
“Semua dosa itu azabnya ditunda oleh Allah SWT. sampai hari kiamat,
kecuali orang yang durhaka kepada orang tuanya. Sesungguhnya Allah akan
mempercepat azab kepadanya; dan Allah akan menambah umur seorang hamba jika ia
berbuat baik kepada ibu bapaknya, bahkan Allah akan menambah kebaikan kepada
siapa saja yang berbuat baik kepada ibu bapaknya serta memberi nafkah kepada
mereka, jika diperlukan.” (H.R. Ibnu Majah)
Termasuk menyakiti orang tua sendiri adalah menyakiti ibu bapak
orang lain karena anak dari orang tua yang disakitinya akan membalasnya. Dengan
demikian, hal ini sama saja dengan menyakiti orang tuanya sendiri.
Setiap anak harus selalu ingat bahwa pengorbanan kedua orang tuanya
sangatlah besar, bahkan tidak mungkin dapat dibalas dengan harta sebesar
apapun. Alangkah kejam dan tidak berakalnya orang yang berani menyakiti hati
kedua orang tuanya sendiri.
Tidak heran, jika Allah SWT, memberikan keistimewaan kepada setiap
orang tua, terutama seorang ibu yang disakiti oleh anaknya sendiri dengan
mengabulkan doanya. Dengan demikian, jika orang tuanya mendoakan agar anaknya
celaka, sang anak dipastikan akan celaka. Hal itu dijelaskan dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Turmudzi:
عَنْ أَبِيْ هُريرةَ رضي الله عنه قال:
قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ
دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَي وَلَدِهِ.
(رواه الترمذي)
“Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Ada tiga
doa yang mustajab dan tidak diragukan lagi, yaitu doa orang teraniaya, doa
orang bepergian, dan doa kedua orang tua kepada anaknya.” (H.R. Turmudzi)
B.
Menyakiti
Hati Orang Tua
Menyakiti kedua orang tua artinya menentang apa yang diperintahkan
oleh keduanya dengan syarat bukan perintah berbuat maksiat kepada Allah atau
melakukan suatu perbuatan yang tidak mendapatkan suatu perbuatan yang tidak mendapat
restu keduanya.
Perbuatan ini termasuk dosa besar. Dan dalam hal ini Rasulullah
memperingatkan kepada kita agar tidak menyakiti kedua orang tua:
اَلَا اُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثلاثًا, قُلْنَا
: بَلَي يارسولَ اللهِ قَال : الإِشْرَاكُ بِاللهِ وعُقوقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ
مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ : اِلَّا وَقَوْلَ الزُّوْرِ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا
حَتَّي قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ. رواه البخاري ومسلم.
“Apakah
kalian mau kuberitakan tentang tiga macam dosa besar?” Para sahabat menjawab:
“Betul wahai Rasulullah, kami mau mendengarnya.” Rasulullah saw. bersabda:
“Menyekutukan Allah, dan menyakiti kedua orang tua.” Ketika itu melanjutkan
pembicaraannya: “Ingatlah (jangan kau lakukan) perkataan bohong dan kesaksian
palsu.” Beliau mengulangi perkataannya itu sehingga kami mengharapkan beliau
menghentikan sabdanya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Maka perhatikanlah hubungan antara berbuat jelek kepada orang tua
dengan orang yang berbuat syirik kepada Allah (yaitu sama-sama dosa besar).
لا يدخل الجنة عاقٌّ, وَلَا مَنَّانٌ, وَلَا مُدْمِنُ خَمْرٍ.
“Tidak
akan memasuki surge orang yang durhaka kepada orang tuanya, yang
menunjuk-nunjukkan pemberiannnya dan orang yang kecanduan minuman keras.” (H.R. Bukhari Muslim).
لَعَنَ اللهُ الْعَاقَّ لِوَالِدَيْهِ.
“Allah
mengutuk orang yang durhaka kepada orang tuanya.
(Riwayat Thabrani –sebagai hadits dha’if).
Termasuk dalam kategori menyakiti kedua orang tua ialah memukul atau
menempeleng kedua orang tua, melontarkan kata-kata makian, atau menambah beban
yang keduanya tidak mampu memikulnya, seperti minta uang secara terus-menerus,
pada hal keduanya tidak mampu memenuhinya. Apalagi andaikata permintaan itu
dilakukan secara paksa atau tidak peduli dengan keadaan orang tua.
Di samping itu, membiarkan kedua orang tua dan tak bersedia
menanggung biaya penghidupannya, sedang seseorang mengerti bahwa kedua orag
tuanya dalam keadaan tidak mampu sedang keadaan dirinya mampu menolong, juga
termasuk di dalam dosa tersebut.
Mengasingkan kedua orang tua juga termasuk dosa besar. Membiarkan
orang tua berada jauh dan tidak pernah mau berziarah. Kadang-kadang kejadian
ini bisa terjadi ketika anak mempunyai kedudukan tinggi disbanding orang tuanya.
Memaki orang tua juga termasuk dosa terhadap orang tua. Dalam hal
ini Rasulullah melarang keras sikap tersebut:
مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ
قِيْلَ يارسولَ اللهِ وكيفَ يلعن الرجل والديه ؟ قال : يَسُبُّ اَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ
الرَّجُلُ اَبَاهُ.
“Termasuk
di antara dosa-dosa yang paling besar ialah seseorang melaknati kedua orang
tuanya.” Seseorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang
melaknati kedua orang tuanya?” Rasulullah menjawab: “Seseorang memaki orang
tuanya orang lain, kemudian orang tersebut balik memaki kedua orang tuanya.”[3]
Apabila seseorang memaki kedua orang tua temannya, berarti secara
tidak langung telah memaki kepada kedua orang tuanya sendiri. Pengertian
menyakiti pada kasus ini ialah meremehkan kehoramatan kedua orang tua, dan
menjadikan namanya sebagai sasaran penghinaan. Padahal kedua orang tua tersebut
telah membesarkan sejak kecil hingga dewasa, yang merupakan jasa tak ternilai
harganya.[4]
Siapa saja yang taat kepada Allah tetapi tidak taat kepada orang tua, maka
Allah tidak akan menerima amalnya.
Di dalam wasiatnya, Rasulullah menerangkan keutamaan berbakti kepada
kedua orang tua melalui sabdanya:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَمُدَّ لَهُ فِي عُمْرِهِ وَيُزَادَ فِي رِزْقِهِ
فَلْيُبِرَّ وَالِدَيْهِ.
“Barang
siapa yang umurnya ingin diperpanjang dan rizkinya bertambah banyak, maka
hendaknya ia berbakti kepada dua orang tuanya dan menyambung persaudaraannya.[5]
Abdulah bin Mas’ud mengatakan dalam salah satu riwayatnya:
سألتُ رسولَ اللهِ. أيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ اِلَي اللهِ ؟ قال
: الصَّلاةُ لِوَقْتِهَا. قُلْتُ ثُمَّ أيٌّ ؟ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ, قلتُ ثُمَّ
أيٌّ ؟ قال : الجهادُ في سبيلِ اللهِ.
“Saya
bertanya kepada Rasulullah saw.: “Amal apakah yang paling disenangi oleh Allah
swt.?” Rasulullah menjawab: “Melakukan shalat pada waktunya.” Kemudian saya
bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Rasul menjawab: “Berbakti kepada kedua
orang tua.” Saya bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?”: maka Rasul menjawab:
”Berjuang di jalan Allah.”[6]
Islam juga mengistimewakan seorang ibu lebih dari seorang ayah di
dalam hak menerima keabktian dari anaknya. Sebab sang ibu lebih banyak
berkorban dibanding sang ayah. Kasih sayang ibu lebih banyak, jerih payahnya
lebih berat, seprti mengandung, melahirkan, menyusui, menjaga bayi, mencuci
kotorannya dan lain sebagainya. Pendeknya, jerih payah ibu lebih banyak
dibanding sang ayah.
Al-Qur’an telah memberikan isyarat mengenai pengalaman ibu:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُوْنَ شَهْرًا....
“Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik keapda dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandung dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai
menyepihnya adalah tiga puluh bulan.” (Q.S Al-Ahqaf : 15)
Terdapat sebuah
hadits mengenai jerih payah ibu:
أَنَّ رَجُلًا جَآءَ اِلَي النَّبِيِّ
فقال: يا رسولَ الله. مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ؟ قال أُمُّكَ. ثم
مَنْ؟ قال أُمُّكَ قال ثم مَنْ؟ قال أُمُّكَ قال ثم مَن؟ قال ثُمَّ أَبُوْكَ.
“Seseorang
datang kepada Rasulullah saw. bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah yang paling
berhak untuk saya berbuat baik?” Rasulullah menjawab: “Ibumu.” “kemudian siapa
lagi?” Rasulullah menjawab: “Ibumu.” “kemudian siapa lagi?” Rasul menjawab
“Ibumu.” “ kemudian siapa lagi?” Jawab Rasul: “Bapakmu.” (H.R Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadis
tersebut Rasulullah mengulangi jawaban dengan kata-kata “ibumu” sebanyak tiga
kali. Hal ini merupakan isyarat bahwa sang ibu berhak mendapatkan perhatian
yang lebih banyak ketimbang sang ayah.
Rasulullah juga
mengamanatkan pesan mengenai hak anak kepada ayahnya, yang ketika itu Rasul
kedatangan seseorang mengadukan suatu masalah yang bersangkutan dengan ayahnya
sendiri. Orang tersebut bertanya: “Ayahku telah merampas harta bendaku.”
Rasulullah menjawab: “Dirimu dan harta bendamu adalah milik ayahmu. Anak-anakmu
adalah hasil yang paling baik, oleh karenanya makanlah harta benda mereka.”[7]
Selain itu Allah
memerintahkan kepada sang anak agar mendoakan kedua orang tua, meminta kepada
Allah sebagai tanda balas jasa yang telah mereka lakukan terhadap dirinya.
وقَدْ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صلي الله عليه وسلم فقال: يارسول الله, هل
بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أُبِرَّهُمَا بِهِ بعد موتِها؟ قال: نعم,
الصلاة عليهما, وَاِنْفَاذِ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهَا, وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِيْ
لَا تُوْصَلُ اِلَّا بِهِمَا وَأكرَمُ صَدِيْقِهِمَا.
“Rasulullah
pernah ditanya oleh seseorang : “Wahai Rasulullah apakah ada sesuatu jalan yang
bisa memungkinkan saya membaktikan diri kepada kedua orang tua sepeninggal mereka?”.
Rasulullah menjawab : “Ya masih ada, mendoakan keduanya, melaksanakan janjinya
setelah mereka mati, mempererat hubungan silaturrahmi yang telah dirintis oleh
keduanya dan menghormati teman-teman keduanya”.[8]
Kata Bisyr
Al-Hafi (seorang zuhud/sufi): “Seseorang yang mendekat pada ibunya dan bersedia
mendengarkan kata-katanya, maka yang demikian adalah lebih utama dari pada
memukulkan pedangnya dalam perang di jalan Allah, sedangkan orang yang melihat
ibunya adalah lebih utama dari segala sesuatu. (Ini adalah pendapat Bisyr
peribadi).[9]
Di antara bentuk durhaka (uquq) adalah :
1.
Menimbulkan
gangguan terhadap orang tua baik berupa perkataan (ucapan) ataupun perbuatan
yang membuat orang tua sedih dan sakit hati.
2.
Berkata
'ah' dan tidak memenuhi panggilan orang tua.
3.
Membentak
atau menghardik orang tua.
4.
Bakhil,
tidak mengurusi orang tuanya bahkan lebih mementingkan yang lain dari pada
mengurusi orang tuanya padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya
memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh perhitungan.
5.
Bermuka
masam dan cemberut dihadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan
bodoh, 'kolot' dan lain-lain.
6.
Menyebut
kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang
tua.
7.
Memasukkan
kemungkaran kedalam rumah misalnya alat musik, mengisap rokok, dll.
8.
Menyuruh
orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan
tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua
atau lemah. Tetapi jika 'Si Ibu" melakukan pekerjaan tersebut dengan
kemauannya sendiri maka tidak mengapa dan karena itu anak harus berterima
kasih.
9.
Mendahulukan
taat kepada istri dari pada orang tua. Bahkan ada sebagian orang dengan teganya
mengusir ibunya demi menuruti kemauan istrinya. Na'udzubillah.
10. Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang
merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggalnya ketika status
sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam ini adalah sikap yang
amat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Orang yang menyia-nyiakan hukum,
yang durhaka kepada kedua orang tuanya, yang melupakan apa yang menjadi
kewajibannya dan apa yang ada di depannya hendaklah berbuat baik kepada mereka.
Itu adalah ketetapan agama, sedangkan kamu telah menerima hukum itu tetapi kamu
masih melakukan kejelekan.
Sang ibu telah mengandung kamu dalam
perutnya selama sembilan bulan yang seolah-olah seperti sembilan tahun. Wanita
tersebut mengalami kesulitan ketika melahirkan kamu dengan perasaan yang tidak
enak. Kamu disusui dengan teteknya, dan karena itulah hingga akhirnya ibu itu
mengantuk. Dalam beberapa malam dia bangun, karena kamu menangis. Kamu bisa
membayagkannya sejak lahir. Kesulitan itu telah menghimpit jantung ibu.
Beberapa kali ibu membersihkan kotoran kamu. Itupun dengan tangan kanan.dll.
Tetapi ketika orang tua itu berusia
lanjut,maka kamu memberikan hinaan bagi mereka,durhaka kepada mereka. Semuanya
itu tidak dibenarkan, Allah dan Rasul telah melarang durhaka kepada orang tua
dan itu adalah termasuk dosa-dosa besar.
Jadilah anak yang shaleh-shalehah,
yang berbakti kepada orang tua, InsyaAllah Allah akan memberikan surganya untuk
kita.
Demikian makalah ini kami buat,
Salah dan khilaf itu semua datangnya dari kami, dan yang benar semuanya hanya
dari Allah. Wallahua’lam bis-shawaab. Mudah-mudahan bermanfa’at di dunia di
akhirat. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Fattah,Afif.Dosa-dosa Menurut Al-Qur’an,Gema Risalah
Press: Bandung 1993.
Ahmadi Abu,Dosa Dalam Islam.Rineka Cipta : Jakarta 1996.
Abdullah Adz-Dzahabi Abu,Dosa-dosa Besar,Bina Ilmu : Surabaya
1993.
Syafi’I Rachmat,Al-Hadis (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum,Pustaka
Setia : Bandung 2000.
[1] Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami dinyatakan bahwa
seandainya Allah memandang kata-kata yang lebih dekat pada kata “ah”, pasti
Allah akan melarangnya pula.
[2] Lihat Syamsuddin Adz-Dzahaby, 75 Dosa Besar (Penyadur M.
Ladzi Safroni), Surabaya: Media Idaman Press), cet II hlm. 68.
[3] Hadits riwayat Bukhari da Muslim.
[4] Drs.H.Abu Ahmadi.Dosa
Dalam islam. Rineka Cipta : Jakarta. 1996
[5] Hadits riwayat Imam Ahmad.
[6] Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
[7] Hadits riwayat Ibnu Majjah.
[8] Hadits riwayat Abu Daud dan ibnu Majjah.
Dr.Afif Abdullah Fattah Tabbarah,Dosa-dosa
menurut Al-Qur’an. Gema Risalah Press : Bandung. 1993 hlm 138.
[9] Imam Abu Abdullah Adz-Dzahab.Dosa-dosa Besar. Bina Ilmu
Surabaya 1993. Hlm 67.
No comments:
Post a Comment